Powered By Blogger

selamat datang sahabat

Terima Kasih telah mengunjungi blog ini.
Tampilkan postingan dengan label TEORI BELAJAR DAN MENGAJAR. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TEORI BELAJAR DAN MENGAJAR. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 Oktober 2010

TEORI BELAJAR GUTHREI

Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984: 252) Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik  di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Tapi dalam makalah ini penulis akan menjelaskan aliran behavioristik dari Edwin R Guthrie
  1. Rumusan Masalah
  1. Eksperimen apa yang dilakukan oleh Guthrie ?
  2. Apa hasil dari eksperimen tersebut dan Teorinya ?
  3. Apa Implikasi Teori Guthrie terhadap Pembelajaran ?
  1. Tujuan
  1. Untuk mengetahui eksperimen yang dilakukan oleh Guthrie.
  2. Untuk mengetahui hasil eksperimen dan teori yang dihasilkan.
  3. Untuk mengetahui implikasi teori tersebut terhadap pembelajaran. 
BAB II
PEMBAHASAN

A. Eksperimen Gutrie 
Erwin R Gutrhrie adalah salah satu penemu teori pembisaan dekat ( contiguous conditioning theory ). Teori ini menyatakan bawa peristiwa belajar terjadi karena adanya sebuah kombinasi antara rangsangan yang disandingkan dengan gerakan yang akan cenderung diikuti oleh gerakan yang sama untuk waktu berikutnya. Teori menyatakan bahwa apa yang sesungguhnya dipelajari oleh orang seperti seorang siswa belajar adalah reaksi atau respon terakhir yang muncul atas sebuah rangsangan atau stimulus. Artinya, setiap peristiwa belajar hanya mungkin terjadi sekali saja untuk selamanya atau tidak sama sekali terjadi. ( Reber,  1989 ; Syah, 2003 ). Menurut Guthrie , peningkatan hasil belajar secara berangsur-angsur yang dicapai oleh siswa bukanlah hasil dari berbagai respon kompleks  terhadap stimulus-stimulus sebagaimana yang diyakini para behavioris lainnya., melainkan karena kedekatan asosiasi antara stimulus dan respons.
Guthrie mengemukakan bahwa tingkah laku manusia itu secara keseluruhan dapat dipandang sebagai deretan-­deretan tingkah laku yang terdiri dari unit‑unit. Unit‑unit tingkah laku ini merupakan reaksi atau respons dari perangsang atau stimulus sebelumnya, dan kemudian unit tersebut menjadi pula stimulus yang kemudian menimbulkan response bagi unit tingkah laku yang berikutnya. Demi­kianlah seterusnya sehingga merupakan deretan‑deretan unit tingkah laku yang terus-menerus. Jadi pada proses conditioning ini pada umumnya terjadi proses asosiasi antara unit‑unit tingkah laku satu sama lain yang ber­urutan. Ulangan‑ulangan atau latihan yang berkali‑kali mem­perkuat asosiasi yang terdapat antara unit tingkah laku yang satu dengan unit tingkah laku yang berikutnya..
. Dalam teori contiguous conditioning , hadiah ( reinforcement ) tidak memainkan peran yang penting dalam belajar ketika telah terjadi asosiasi antara stimulus dan respons. Oleh karena itu ketika setiap stimulus yang berbeda sedikit maka banyak percobaan yang mungkin dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah respons secara umum. Teori kontiguitas menyatakan bahwa lupa terjadi karena adanya halangan dari berlalunya waktu, sehingga stimulus menjadi diasosiasikan dengan respons baru.  Selain itu , pembiasaan yang sebelumnya terjadi dapat berubah oleh asosiasi yang menghalang-halangi respons seperti ketakutan atau kecapekan. Dalam hal ini peran motivasi juga dapat menciptakan dorongan untuk melakukan tindakan yang menghasilkan respons selanjutnya.
Kebiasaan dalam teori Guthrie ini didefinisikan sebagai sebuah respon yang diasosiasikan dengan beberapa stimuli yang berbeda. Untuk menghentikan kebiasaan yang inappropriate ( tidak sesuai ) maka kebiasaan itu perlu diputus. Untuk itu, perlu memutus pula hubungan antara asosiasi dengan 'cues' yang memunculkan stimuli (rangsangan) dan respons. Ada tiga metode yang ditawarkan oleh Gutrhrie untuk memutuskan kebiasaan yaitu metode ambang pintu ( threshold methode ), metode yang kaku ( fatigue methode), dan metode respons tandingan (incompatable respons methode).

Ringkasan Tiga Metode memutus Kebiasaan

Metode
Karakteristik
Contoh
Ambang Batas (threshold)
1.             Mengenalkan stimuli dengan kekuatan yang lemah.
2.             Secara perlahan meningkatkan kekuatan stimuli, tetapi menjaganya dibawah respons batas minimal.
Memasang pelana kuda : mulai dengan selimut yang ringan , kemudian selimut yang lebih berat, baru kemudian pelana kuda.
Metode fatigue (meletihkan)
" mengeluarkan " semua respons dalam menghadirkan stimuli.
Melemparkan pelana diatas kuda dan menaiki kuda samapai kuda meringkik, menendang, dan berusaha sekuat tenaga untuk melempar orang yang menaikinya. (joki) : pelana dan joki menjadi stimulus untuk berjalan dan berlari dengan tenang.  
Metode respons tandingan (incompatable Respons Methode)
Memasangkan stimulus (S1) yang menyebaabkan perilaku tidak sesuai (inapropiate) dengan stimulus (S2) yang memunculkan respons-respons yang sesuai (apropiate), perilaku yang sesuai diasosiasikan dengan stimulus (S2).
Untuk menghentikan menghindar dan takut berlebihan, dengan memasangkan ketakutan pada suatu objek ( seperti harimau mainan ) dengan sebuah stimulus yang memunculkan perasaan hangat dan penuh kasih saying., seperti gambar seorang ibu.

Berbeda dengan reinforcemen yang tidak terlalau berperan dalam proses belajar , hukuman (punishment) mempunyai pengaruh penting mengubah perilaku seseorang . punishment jika diberikan secara tepat dalam menghadirkan sebuah stimulus yang memunculkan perilaku inappropriate, dapat menyebabkan subyek melakukan sesuatu yang berbeda. Guthrie menjelaskan dengan mengambil contoh seorang gadis yang setiap kali pulang sekolah selalau meletakkan tas dan sepatu disembarang tempat setiap hari . kemudian sang ibu memerintahkan anaknya untuk mengambil tas dan kaos kakinya dilantai kemudian keluar rumah dan kembali masuk rumah serta langsung meletakkan pada tempatnya. Setelah tindakan itu berkali-kali dilakukan setiap anaknya pulang sekolah dan meletakkan tas dan kaos kaki sembarangan akhirnya perilaku  meletakkan tas dan kaos kaki pada tempatnya diasosiasikan dengan harus keluar rumah dan masuk kembali ke dalam rumah. 
Salah satu eksperimen yang dilakukan oleh Gutrie untuk mendukung teori kontiguitas adalah percobaannya dengan kucing yang dimasukkan ke dalam kotak puzel. Kemudian kucing tersebut berusaha keluar. Kotak dilengkapi dengan alat yang bila disentuh dapat membuka kotak puzel tersebut. Selain itu kotak tersebut juga dilengkapi dengan alat yang dapat merekam gerakan-gerakan kucing dalam kotak. Alat tersebut menujukan bahwa kucing telah belajar mengulang gerakan-gerakan sama yang di asosiasikan dengan gerakan-gerakan sebelumnya. Ketika dia dapat keluar dari kotak tersebut.

B. Hasil Eksperimen dan Teorinya :
Dari hasil eksperimen muncul beberapa prinsip :
  1. Agar terjadi pembiasaan, maka organisma harus selalu merespons atau melakukan sesuatu.
  2. Pada saat belajar melibatkan pembisaan terhadap gerakan-gerakan tertentu, oleh karena itu instruksi yang diberikan harus spesifik.
  3. Keterbukaan terhadap berbagai bentuk stimulus yang ada merupakan keinginan untuk menghasilkan respons secara umu.
  4. Respons terakhir dalam belajar harus benar ketika itu menjadi sesuatu yang diasosiasikan .
  5. Asosiasi akan menjadi lebih kuat karena ada pengulangan.

Teori Edwin R Guthrie adalah terori pembisaan asosiasi dekat ( contiguous conditioning theory ). Teori ini menyatakan bahwa peristiwa belajar terjadi karena adanya sebuah kombinasi antara rangsangan yang disandingkan dengan gerakan yang cenderung diikuti oleh gerakan yang sama untuk waktu berikutnya.

C. Penerapan Teori Kontiguitas terhadap Pembelajaran :
Mengasosiasikan rangsangan dan respons secara tepat merupakan inti dari teori belajar yang dibangun oleh Guthrie. Untuk penerapan teori ini dalam proses belajar mengajar di kelas. Guthrie memberikan beberapa saran bagi guru :
  1. Guru harus dapat mengarahkan performa siswa akan menjadi apa ketika mempelajari sesuatu. Dengan kata lain , apakah stimuli yang ada dalam buku atau pelajaran yang menyebabkan siswa melakukan belajar.
  2. Oleh karena itu, jika siswa mencatat atau membaca buku secara sederhana mereka dapat mengingat lebih banyak informasi. Maka dalam hal ini buku akan menjadi stimuli yang dapat digunakan sebagai perangsang untuk menghafal pelajaran.
  3. Dalam mengelola kelas, guru dianjurkan untuk tidak memberikan perintah yang secara langsung akan menyebabkan siswa menjadi tidak taat terhadap peraturan kelas. Misalnya permintaan guru agar siswa tenang jika diikuti oleh kegaduhan dalam kelas akan menjadi tanda (memunculkan stimuli ) bagi munculnya perilaku distruptif.  

TOKOH
EKSPERIMEN
HASIL EKSPERIMEN
IMPLIKASI TEORI TERHADAP PEMBELAJARAN
Ghutrie
Dilakukan terhadap seekor kucing
Process Conditioning
Dalam meng­ubah tingkah laku atau kebiasaan‑kebiasaan pada hewan maupun pada manusia ialah:
Metode Reaksi Berlawanan (Incompatible Response Method) Manusia itu adalah suatu organisme yang se­lalu mereaksi kepada perangsang‑perangsang tertentu. Jika suatu reaksi terhadap perangsang‑perangsang telah menjadi suatu kebiasaan, maka cara untuk mengubah­nya ialah dengan jalan menghubungkan perangsang (stimulus) dengan reaksi (respon) yang berlawanan dengan reaksi buruk yang hendak dihilangkannya.
Metode Membosankan (Exchaustion Method). Hu­bungan antara asosiasi antara perangsang dan reaksi (S‑R) pada tingkah laku yang buruk itu dibiarkan saja sampai lama mengalami keburukan itu, sehingga men­jadi bosan.
 Mengubah Lingkungan  (Change of Environ­ment Method). Suatu metode yang dilakukan dengan jalan memutuskan atau memisahkan hubungan antara S dan R yang buruk yang akan dihilangkannya. Yakni menghilangkan kebiasaan‑kebiasaan buruk yang di­sebabkan oleh suatu perangsang (S) dengan mengubah perangsangnya itu sendiri



Jumat, 05 Maret 2010

TEORI BELAJAR IVAN PAVLOV

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fifik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat da kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon).
Teori Behavioristik:
1. Mementingkan faktor lingkungan
2. Menekankan pada faktor bagian
3. Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif.
4. Sifatnya mekanis
5. Mementingkan masa lalu
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Classic conditioning ( pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaanny terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan
Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat sesuatu.
Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang di inginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
Ivan Pavlov dengan “classical conditioning” nya:
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
• Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
• Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

1.2 Rumusan Masalah
1. Eksperimen apa yang dilakukan oleh Ivan Pavlov ?
2. Apa hasil dari eksperimen Ivan Pavlov ?
3. Bagaimana implikasinya terhadap pembelajaran ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui eksperimen apa yang dilakukan oleh Ivan Pavlov.
2. Untuk mengetahui hasil eksperimen Ivan Pavlov.
3. Untuk mengetahui implikasinya terhadap pembelajaran.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Eksperimen Yang Dilakukan Oleh Ivan Pavlov
Ivan Petrovitch Pavlov merupakan tokoh aliran behaviorisme klasik ( Classical Conditioning ). Dia dilahirkan di kota Ryazan, yaitu sebuah desa kecil di Rusia pada September 1849, satu dekade sebelum dipublikasikannya teori Darwin “ Darwin’s On The Origin of Species “ ( Chance, 2002 ).
Akhir 1800-an, Ivan Pavlov, ahli fisika Rusia, memelopori munculnya proses kondisioning responden (respondent conditioning) atau kondisioning klasik (classical conditioning), karena itu disebut kondisioning Ivan Paavlov. Dari penelitian bersama koleganya ini, Ivan Pavlov mendapatkan Nobel.
Ivan Pavlov melakukan eksperimen terhadap anjing. Pavlov melihat selama pelatihan ada perubahan dalam waktu dan rata-rata keluarnya air liur pada anjing (salivation). Pavlov mengamati, jika daging diletakkan dekat mulut anjing yang lapar, anjing akan mengelurkan air liur. Hal ini terjadi karena daging telah menyebabkan rangsangan kepada anjing, sehingga secara otomatis ia mengeluarkan air liur. Walaupun tanpa latihan atau dikondisikan sebelumnya, anjing pasti akan mengelurkan air liur jika dihadapkan pada daging. Dalam percobaan ini, daging disebut dengan stimulus yang tidak terkondisikan (unconditioned stimulus). Dan karena saliva terjadi secara otomotis pada saat daging di dekat anjing tanpa latihan atau pengkondisian, maka keluarnya saliva pada anjing tersebut dinamakan sebagai respons yang tidak dikondisikan (unresponse conditioning).
Kalau daging dapat menimbulkan saliva pada anjing tanpa latihan atau pengalaman sebelumnya, maka stimulus yang lain, seperti bel, tidak dapat menghasilkan saliva. Karena stimulus tersebut tidak menghasilkan respons, maka stimulus (bel) tersebut disebut dengan stimulus netral (neutral stimulus). Menurut eksperimen Pavlov, jika stimulus netral (bel) dipasangkan dengan daging (uncoditioning stimulus) dan dilakukan secara berulang-ulang, maka stimulus netral akan berubah menjadi stimulus yang terkondisikan (conditioning stimulus) dan memiliki kekuatan yang sama untuk mengarahkan respons anjing seperti ketika ia melihat daging. Oleh karena itu, bunyi bel sendiri akan dapat menyebabkan anjing mengeluarkan air liur (saliva). Proses ini dinamakan classical conditioning.
Makanan ( daging ) disini berperan memperkuat ( reinforcing ) keluarnya air liur ketika bel berbunyi disebut penguat positif ( positive reinforcer ), yaitu stimulus atau penguat yang kehadirannya meningkatkan peluang terjadinya respon yang dikehendaki. Jika dalan eksperimen pemberian makanan dihentikan, selama beberapa waktu anjing tetap mengeluarkan air liur setiap mendengar bel tetapi hubungan itu semakin lemah sampai akhirnya bel tidak lagi mengeluarkan air liur. Hal ini dikatakan proses pemadaman ( extinction ), yang menunjukkan penguatan berkelanjutan. Tanpa reinforcement tingkah laku respon yang bukan otomatis ( refleks ) akan semakin hilang. Behaviorisme klasik ini menghasilkan tipe tingkah laku responden, yang oleh Skinner dianggap dianggap kurang penting karena kurang menggambarkan fungsi integral manusia dalam lingkungannya. Dalam kehidupan yang sebenarnya, umumnya reinforcement tidak segera dikenali dan akan timbul sesudah tingkah laku terjadi.
Dari eksperimen yang dilakukan tersebut Pavlov menyimpulkan bahwa :
1. Refleks bersyarat ( conditioned reflex / CR ) yang telah terbentuk itu dapat hilang karena perangsang yang mengganggu ( hilang untuk sementara )
2. Refleks bersyarat ( conditioned reflex / CR ) dapat dihilangkan dengan proses pensyaratan kembali ( reconditioning, berconditionering ), jalannya melakukan pensyaratan kembali ini sama dengan ketika menimbulkan refleks bersyarat, hanya saja disini tidak diberi reinforcement.
Namun dalam eksperimennya Pavlov masih mengalami kelemahan karena adanya keterbatasan daya deskriminasi dari anjing yang di cobanya itu maksimum hanya mampu mengingat sampai pada tiga macam perangsang.

2.2 Hasil Dari Eksperimen Ivan Pavlov
Dari hasil eksperimen dengan menggunakan anjing tersebut, Pavlov akhirnya menemukan beberapa hokum pengkondisian, antara lain:
1. Pemerolehan (acquisition),
Pemerolehan adalah membuat pasangan stimulus netral dengan stimulus tak bersyarat berulang-ulang hingga muncul respons bersyarat atau yang disebut acquisition atau acquisition training (latihan untuk memperoleh sesuatu).
Para peneliti sering kali membuat stimulus netral bersamaan dengan stimulus bersyarat atau berbeda beberapa detik selisih waktu pemberiannya dan segera menghentikan secara serempak. Prosedur ini biasanya disebut dengan pengkondisian secara serempak. Prosedur ini lebih sederhana dan efektif dalam melatih orang atau hewan. Kadang peneliti juga menggunakan prosedur yang berbeda, yakni dengan menghentikan stimulus netral terlebih dahulu sebelum stimulus tak bersyarat, walaupun prosedur ini jarang digunakan dalam pengkondisian. Memasangkan stimulus netral dengan stimulus tak bersyarat selama latihan untuk memperoleh sesuatu akan berfungsi sebagai penguat atau reinforcement bagi respons bersyarat.
2. pemadaman (extinction),
Setelah respons itu terbentuk, maka respons itu akan tetap ada selama masih diberikan rangsangan bersyaratnya dan dipasangkan dengan rangsangan tak bersyarat. Kalau rangsangan bersyarat diberikan untuk beberapa lama, maka respons bersyarat lalu tidak mempunyai pengut/reinforce dan besar kemungkinan respons bersyarat itu akan menurun jumlah pemunculannya dan akan semakin sering tak terlihatb seperti penelitian sebelumnya. Peristiwa itulah yang disebut dengan pemandaan (extinction). Beberapa respons bersyarat akan hilang secara perlahan-lahan atau hilang sama sekali untuk selamanya.
Dalam kehidupan nyata, mungkin kita pernah menjumpai realitas respons emosi bersyarat. Misalnya, ada dua orang anak kecil laki-laki dan perempuan yang biasa bermain bersama. Pada saat mereka menginjak dewasa, menjadi seorang gadis dan pemuda, tiba-tiba tumbuh perasaan cinta pada diri pemuda kepada gadis tersebut, tetapi tidak demikian dengan san gadis. Pada saat pemuda teman sejak kecilnya itu menyatakan cintanya, gadis tersebut menolak dengan alasan perasaan kepada pemuda itu hanya sebatas teman. Namun, karena pemuda itu sangat mencintai sang gadis, dengan menggunakan berbagai cara yang dapat membahagaikan, ia berusaha untuk mengambil hati gadis itu agar menerima cintanya. Misalnya, dengan selalu memberikan perhatian, memberikan segala yang disukai oleh gadis itu, dan lain sebagainya. Ketika perhatian dan kebaikannya kepada gadis tersebut dilakukan berulang-ulang maka pada suatu saat hati sang gadis menjadi luluh dan akhirnya menerima cinta pemuda tersebut.
3. Generalisasi (generalizatition) dan diskriminasi (discrimination),
Ternyata respons bersyarat ini juga dapat dikenakan pada kejadian lain, namun situasinya yang mirip. Inilah yang dikenal dengan generalisasi stimulus atau generalisasi. Misalnya, pemuda yang mencintai seorang gadis, dan merasa bahagia jika bertemu dengan gadis tersebut. Pada saat itu ia mengetahui bahwa gadis yang dicintainya menyukai warna pink, maka ia akan merasa bahagia ketika menjumpai benda-benda apa saja yang berwarna pink.
Bila suatu makhluk mengadakan ganeralisasi (menyamaratakan), maka ia juga akan dapat melakukan diskriminasi atau pembedaan. Diskriminasi yang dikondisikan ditimbulkan melalui penguatan dan pemadaman yang selektif. Dalam eksperimen Pavlov, 2 nada yang berbeda diberikan kepada anjing terdiri dari stimulus diferensial (SD1) dan SD2, yang berfungsi sebagai stimulus pembeda. Salah satu atau satu dari keduanya digunakan pada setiap percobaan. Nada pertama (SD1) diikuti dengan shock elektris ringan, yang kedua (SD2) tidak. Pada mulanya subyek memberikan respons yang dikondisikan pada kedua nada. Namun, pada proses percobaan amplitude nada yang pertama semakin lama semakin meningkat, sedangkan nada kedua semakin lama semakin menurun. Dengan demikian, melalui proses penguatan diferensial, subyek dikondisikan untuk membedakan nada tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari generalisasi dan diskriminasi ini dapat kita jumpai. Misalnya, anak kecil yang merasa takut pada anjing galak, tentu akan memberikan respons rasa takut pada setiap anjing. Tapi melalui penguatan dan pemadaman diferensial, rentang stimulus rasa takut menjadi menyempit hanya pada anjing yang galak saja.


4. conditioning tandingan.
Kondisioning ini merupakan salah satu bentuk khusus dari kondisioning responden. Pada kondisioning jenis ini, respons bersayarat yang khusus akan digantikan dengan respons bersyarat lain yang baru dan bertentangan, tidak saling cocok (incompatible) dengan respons bersyarat yang sebelumnya. Misalnya, respons bersyarat berupa perasaan tidak suka digantikan dengan perasaan suka, takut dengan berani, benci dengan cinta, dan lain sebagainya. Sehingga reaksi tersebut dapat disebut dengan incompatible atau saling mengganti.
Prosedur kondisioning tandingan ini sifatnya langsung, satu perangkat latihan yang baru terjadi pula. Satu rangsangan bersyarat yang dapat menimbulkan respons bersyarat yang ingin diubah, diperlukan rangsangan netral. Ini kemudian diasosiasikan dengan rangsangan tak bersyarat yang dapat menimbulkan respons tak bersyarat secara bertentangan. Setelah dipasangkan berulang-ulang, rangsangan bersyarat itu mungkin akan halnya dapat memancing sutu respons bersyarat baru yang berlawanan. Contoh, seorang anak kecil yang tidak mau dicukur rambutnya karena takut dengan suara alat cukur atau gunting. Untuk mengganti perasaan takut ketika dipotong, maka setiap dipotong rambutnya anak diberi gula-gula kesukaannya atau diputarkan film kartun kesayangannya. Sehinnga ketika itu dilakukan terus menerus akan muncul respons tidak takut dengan alat-alat cukur rambut.

2.3 Implikasi Terhadap Pembelajaran
Penerapan prinsip-prinsip kondisioning klasik dalam kelas
a. Memberikan suasana yang menyenangkan ketika memberikan tugas-tugas belajar, misalnya:
• Menekankan pada kerja sama dan kompetisi antarkelompok daripada individu, banyak siswa yang akan memiliki respons emosional secara negative terhadap kompetisi secara individual, yang mungkin akan digeneralisasikan dengan pelajaran-pelajaran yang lain.
• Membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan dengan menciptakan ruang membaca yang nyaman dan enak serta menarik.
b. Membantu siswa mengatasi secara bebas dan sukses situasi-situasi yang mencemaskan atau menekan, misalnya:
 Mendorong siswa yang pemalu untuk mengajarkan siswa lain cara memahami materi pelajaran
 Membuat tahap jangka pendek untuk mencapai tujuan jangka panjang, misalnya dengan memberikan tes harian, mingguan, agar siswa dapat menyimpan apa yang dipelajari dengan baik.
 Jika siswa takut berbicara di depan kelas mintalah siswa untuk membacakan sebuah laporan di depan kelompok kecil sambil duduk ditempat, kemudian berikutnya dengan berdiri. Setelah dia terbiasa, kemudian mintalah ia untuk membaca laporan di depan seluruh murid di kelas.
c. Membantu siswa untuk mengenal perbedaan dan persamaan terhadap situasi-situasi sehingga mereka dapat membedakan dan menggeneralisasi secara tepat. Misalnya dengan:
 Meyakinkan siswa yang cemas ketika menghadapi ujian masuk sebuah perguruan tinggi, bahwa tes tersebut sama dengan tes-tes prestasi akademik lain yang pernah mereka lakukan.
 Menjelaskan bahwa lebih baik menghindari hadiah yang berlebihan dari orang yang tidak dikenal, atau menghindar tetapi aman dan dapat menerima penghargaan dari orang dewasa ketika orang tua ada.