BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fifik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat da kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon).
Teori Behavioristik:
1. Mementingkan faktor lingkungan
2. Menekankan pada faktor bagian
3. Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif.
4. Sifatnya mekanis
5. Mementingkan masa lalu
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Classic conditioning ( pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaanny terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan
Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat sesuatu.
Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang di inginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
Ivan Pavlov dengan “classical conditioning” nya:
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
• Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
• Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
1.2 Rumusan Masalah
1. Eksperimen apa yang dilakukan oleh Ivan Pavlov ?
2. Apa hasil dari eksperimen Ivan Pavlov ?
3. Bagaimana implikasinya terhadap pembelajaran ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui eksperimen apa yang dilakukan oleh Ivan Pavlov.
2. Untuk mengetahui hasil eksperimen Ivan Pavlov.
3. Untuk mengetahui implikasinya terhadap pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Eksperimen Yang Dilakukan Oleh Ivan Pavlov
Ivan Petrovitch Pavlov merupakan tokoh aliran behaviorisme klasik ( Classical Conditioning ). Dia dilahirkan di kota Ryazan, yaitu sebuah desa kecil di Rusia pada September 1849, satu dekade sebelum dipublikasikannya teori Darwin “ Darwin’s On The Origin of Species “ ( Chance, 2002 ).
Akhir 1800-an, Ivan Pavlov, ahli fisika Rusia, memelopori munculnya proses kondisioning responden (respondent conditioning) atau kondisioning klasik (classical conditioning), karena itu disebut kondisioning Ivan Paavlov. Dari penelitian bersama koleganya ini, Ivan Pavlov mendapatkan Nobel.
Ivan Pavlov melakukan eksperimen terhadap anjing. Pavlov melihat selama pelatihan ada perubahan dalam waktu dan rata-rata keluarnya air liur pada anjing (salivation). Pavlov mengamati, jika daging diletakkan dekat mulut anjing yang lapar, anjing akan mengelurkan air liur. Hal ini terjadi karena daging telah menyebabkan rangsangan kepada anjing, sehingga secara otomatis ia mengeluarkan air liur. Walaupun tanpa latihan atau dikondisikan sebelumnya, anjing pasti akan mengelurkan air liur jika dihadapkan pada daging. Dalam percobaan ini, daging disebut dengan stimulus yang tidak terkondisikan (unconditioned stimulus). Dan karena saliva terjadi secara otomotis pada saat daging di dekat anjing tanpa latihan atau pengkondisian, maka keluarnya saliva pada anjing tersebut dinamakan sebagai respons yang tidak dikondisikan (unresponse conditioning).
Kalau daging dapat menimbulkan saliva pada anjing tanpa latihan atau pengalaman sebelumnya, maka stimulus yang lain, seperti bel, tidak dapat menghasilkan saliva. Karena stimulus tersebut tidak menghasilkan respons, maka stimulus (bel) tersebut disebut dengan stimulus netral (neutral stimulus). Menurut eksperimen Pavlov, jika stimulus netral (bel) dipasangkan dengan daging (uncoditioning stimulus) dan dilakukan secara berulang-ulang, maka stimulus netral akan berubah menjadi stimulus yang terkondisikan (conditioning stimulus) dan memiliki kekuatan yang sama untuk mengarahkan respons anjing seperti ketika ia melihat daging. Oleh karena itu, bunyi bel sendiri akan dapat menyebabkan anjing mengeluarkan air liur (saliva). Proses ini dinamakan classical conditioning.
Makanan ( daging ) disini berperan memperkuat ( reinforcing ) keluarnya air liur ketika bel berbunyi disebut penguat positif ( positive reinforcer ), yaitu stimulus atau penguat yang kehadirannya meningkatkan peluang terjadinya respon yang dikehendaki. Jika dalan eksperimen pemberian makanan dihentikan, selama beberapa waktu anjing tetap mengeluarkan air liur setiap mendengar bel tetapi hubungan itu semakin lemah sampai akhirnya bel tidak lagi mengeluarkan air liur. Hal ini dikatakan proses pemadaman ( extinction ), yang menunjukkan penguatan berkelanjutan. Tanpa reinforcement tingkah laku respon yang bukan otomatis ( refleks ) akan semakin hilang. Behaviorisme klasik ini menghasilkan tipe tingkah laku responden, yang oleh Skinner dianggap dianggap kurang penting karena kurang menggambarkan fungsi integral manusia dalam lingkungannya. Dalam kehidupan yang sebenarnya, umumnya reinforcement tidak segera dikenali dan akan timbul sesudah tingkah laku terjadi.
Dari eksperimen yang dilakukan tersebut Pavlov menyimpulkan bahwa :
1. Refleks bersyarat ( conditioned reflex / CR ) yang telah terbentuk itu dapat hilang karena perangsang yang mengganggu ( hilang untuk sementara )
2. Refleks bersyarat ( conditioned reflex / CR ) dapat dihilangkan dengan proses pensyaratan kembali ( reconditioning, berconditionering ), jalannya melakukan pensyaratan kembali ini sama dengan ketika menimbulkan refleks bersyarat, hanya saja disini tidak diberi reinforcement.
Namun dalam eksperimennya Pavlov masih mengalami kelemahan karena adanya keterbatasan daya deskriminasi dari anjing yang di cobanya itu maksimum hanya mampu mengingat sampai pada tiga macam perangsang.
2.2 Hasil Dari Eksperimen Ivan Pavlov
Dari hasil eksperimen dengan menggunakan anjing tersebut, Pavlov akhirnya menemukan beberapa hokum pengkondisian, antara lain:
1. Pemerolehan (acquisition),
Pemerolehan adalah membuat pasangan stimulus netral dengan stimulus tak bersyarat berulang-ulang hingga muncul respons bersyarat atau yang disebut acquisition atau acquisition training (latihan untuk memperoleh sesuatu).
Para peneliti sering kali membuat stimulus netral bersamaan dengan stimulus bersyarat atau berbeda beberapa detik selisih waktu pemberiannya dan segera menghentikan secara serempak. Prosedur ini biasanya disebut dengan pengkondisian secara serempak. Prosedur ini lebih sederhana dan efektif dalam melatih orang atau hewan. Kadang peneliti juga menggunakan prosedur yang berbeda, yakni dengan menghentikan stimulus netral terlebih dahulu sebelum stimulus tak bersyarat, walaupun prosedur ini jarang digunakan dalam pengkondisian. Memasangkan stimulus netral dengan stimulus tak bersyarat selama latihan untuk memperoleh sesuatu akan berfungsi sebagai penguat atau reinforcement bagi respons bersyarat.
2. pemadaman (extinction),
Setelah respons itu terbentuk, maka respons itu akan tetap ada selama masih diberikan rangsangan bersyaratnya dan dipasangkan dengan rangsangan tak bersyarat. Kalau rangsangan bersyarat diberikan untuk beberapa lama, maka respons bersyarat lalu tidak mempunyai pengut/reinforce dan besar kemungkinan respons bersyarat itu akan menurun jumlah pemunculannya dan akan semakin sering tak terlihatb seperti penelitian sebelumnya. Peristiwa itulah yang disebut dengan pemandaan (extinction). Beberapa respons bersyarat akan hilang secara perlahan-lahan atau hilang sama sekali untuk selamanya.
Dalam kehidupan nyata, mungkin kita pernah menjumpai realitas respons emosi bersyarat. Misalnya, ada dua orang anak kecil laki-laki dan perempuan yang biasa bermain bersama. Pada saat mereka menginjak dewasa, menjadi seorang gadis dan pemuda, tiba-tiba tumbuh perasaan cinta pada diri pemuda kepada gadis tersebut, tetapi tidak demikian dengan san gadis. Pada saat pemuda teman sejak kecilnya itu menyatakan cintanya, gadis tersebut menolak dengan alasan perasaan kepada pemuda itu hanya sebatas teman. Namun, karena pemuda itu sangat mencintai sang gadis, dengan menggunakan berbagai cara yang dapat membahagaikan, ia berusaha untuk mengambil hati gadis itu agar menerima cintanya. Misalnya, dengan selalu memberikan perhatian, memberikan segala yang disukai oleh gadis itu, dan lain sebagainya. Ketika perhatian dan kebaikannya kepada gadis tersebut dilakukan berulang-ulang maka pada suatu saat hati sang gadis menjadi luluh dan akhirnya menerima cinta pemuda tersebut.
3. Generalisasi (generalizatition) dan diskriminasi (discrimination),
Ternyata respons bersyarat ini juga dapat dikenakan pada kejadian lain, namun situasinya yang mirip. Inilah yang dikenal dengan generalisasi stimulus atau generalisasi. Misalnya, pemuda yang mencintai seorang gadis, dan merasa bahagia jika bertemu dengan gadis tersebut. Pada saat itu ia mengetahui bahwa gadis yang dicintainya menyukai warna pink, maka ia akan merasa bahagia ketika menjumpai benda-benda apa saja yang berwarna pink.
Bila suatu makhluk mengadakan ganeralisasi (menyamaratakan), maka ia juga akan dapat melakukan diskriminasi atau pembedaan. Diskriminasi yang dikondisikan ditimbulkan melalui penguatan dan pemadaman yang selektif. Dalam eksperimen Pavlov, 2 nada yang berbeda diberikan kepada anjing terdiri dari stimulus diferensial (SD1) dan SD2, yang berfungsi sebagai stimulus pembeda. Salah satu atau satu dari keduanya digunakan pada setiap percobaan. Nada pertama (SD1) diikuti dengan shock elektris ringan, yang kedua (SD2) tidak. Pada mulanya subyek memberikan respons yang dikondisikan pada kedua nada. Namun, pada proses percobaan amplitude nada yang pertama semakin lama semakin meningkat, sedangkan nada kedua semakin lama semakin menurun. Dengan demikian, melalui proses penguatan diferensial, subyek dikondisikan untuk membedakan nada tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari generalisasi dan diskriminasi ini dapat kita jumpai. Misalnya, anak kecil yang merasa takut pada anjing galak, tentu akan memberikan respons rasa takut pada setiap anjing. Tapi melalui penguatan dan pemadaman diferensial, rentang stimulus rasa takut menjadi menyempit hanya pada anjing yang galak saja.
4. conditioning tandingan.
Kondisioning ini merupakan salah satu bentuk khusus dari kondisioning responden. Pada kondisioning jenis ini, respons bersayarat yang khusus akan digantikan dengan respons bersyarat lain yang baru dan bertentangan, tidak saling cocok (incompatible) dengan respons bersyarat yang sebelumnya. Misalnya, respons bersyarat berupa perasaan tidak suka digantikan dengan perasaan suka, takut dengan berani, benci dengan cinta, dan lain sebagainya. Sehingga reaksi tersebut dapat disebut dengan incompatible atau saling mengganti.
Prosedur kondisioning tandingan ini sifatnya langsung, satu perangkat latihan yang baru terjadi pula. Satu rangsangan bersyarat yang dapat menimbulkan respons bersyarat yang ingin diubah, diperlukan rangsangan netral. Ini kemudian diasosiasikan dengan rangsangan tak bersyarat yang dapat menimbulkan respons tak bersyarat secara bertentangan. Setelah dipasangkan berulang-ulang, rangsangan bersyarat itu mungkin akan halnya dapat memancing sutu respons bersyarat baru yang berlawanan. Contoh, seorang anak kecil yang tidak mau dicukur rambutnya karena takut dengan suara alat cukur atau gunting. Untuk mengganti perasaan takut ketika dipotong, maka setiap dipotong rambutnya anak diberi gula-gula kesukaannya atau diputarkan film kartun kesayangannya. Sehinnga ketika itu dilakukan terus menerus akan muncul respons tidak takut dengan alat-alat cukur rambut.
2.3 Implikasi Terhadap Pembelajaran
Penerapan prinsip-prinsip kondisioning klasik dalam kelas
a. Memberikan suasana yang menyenangkan ketika memberikan tugas-tugas belajar, misalnya:
• Menekankan pada kerja sama dan kompetisi antarkelompok daripada individu, banyak siswa yang akan memiliki respons emosional secara negative terhadap kompetisi secara individual, yang mungkin akan digeneralisasikan dengan pelajaran-pelajaran yang lain.
• Membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan dengan menciptakan ruang membaca yang nyaman dan enak serta menarik.
b. Membantu siswa mengatasi secara bebas dan sukses situasi-situasi yang mencemaskan atau menekan, misalnya:
Mendorong siswa yang pemalu untuk mengajarkan siswa lain cara memahami materi pelajaran
Membuat tahap jangka pendek untuk mencapai tujuan jangka panjang, misalnya dengan memberikan tes harian, mingguan, agar siswa dapat menyimpan apa yang dipelajari dengan baik.
Jika siswa takut berbicara di depan kelas mintalah siswa untuk membacakan sebuah laporan di depan kelompok kecil sambil duduk ditempat, kemudian berikutnya dengan berdiri. Setelah dia terbiasa, kemudian mintalah ia untuk membaca laporan di depan seluruh murid di kelas.
c. Membantu siswa untuk mengenal perbedaan dan persamaan terhadap situasi-situasi sehingga mereka dapat membedakan dan menggeneralisasi secara tepat. Misalnya dengan:
Meyakinkan siswa yang cemas ketika menghadapi ujian masuk sebuah perguruan tinggi, bahwa tes tersebut sama dengan tes-tes prestasi akademik lain yang pernah mereka lakukan.
Menjelaskan bahwa lebih baik menghindari hadiah yang berlebihan dari orang yang tidak dikenal, atau menghindar tetapi aman dan dapat menerima penghargaan dari orang dewasa ketika orang tua ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar